Minggu, 18 November 2018

Meyakini Tanpa Mempermasalahkan Perbedaan


          
kerukunan antar umat beragama
Bhineka Tunggal Ika, itulah semboyan bangsa Indonesia, yang maknanya berbeda-beda namun tetap satu  jua. Indonesia negeri yang kaya raya akan budaya, bahasa, suku, ras dan agama di dalamnya. Hanya ada di Indonesia perbedaan-perbedaan yang begitu banyak dapat membaur menjadi satu, hanya ada di Indonesia umat berbeda agama dapat hidup berdampingan dengan rukun, dan hanya ada di Indonesia yang setiap daerahnya memiliki bahasa dan logat bahasa yang berbeda-beda.Menurut data terakhir kemeterian pendidikan dan kebudayaan saat ini di Indonesia terdapat  652 bahasa daerah.

Wow sangat luar biasa bukan? Bahasa daerah ini digunakan oleh masyarakat dalam percakapan sehari-hari, setiap daerah biasanya memiliki gaya bahasa atau logat yang berbeda-beda dalam berbicara, misalnya dalam bahasa jawa ( karena saya orang jawa saya mengambil contoh dalam bahasa jawaJ) logat bahasa jawa orang jawa timur berbeda dengan logatnya orang jawa tengah maupun orang Jogja. Bahkan logat bahasa orang yang sama-sama jawa tengah pun juga sudah berbeda, misalkan ada daerah yang menggunakan bahasa jawa ngapak dan bahasa jawa yang biasanya. Jika dilihat dari segi bahasa daerah saja sudah banyak sekali perbedaannya.

Belum lagi kalau membahas soal agama di Indonesia, pasti akan lebih banyak lagi masalah-masalah perbedaan antar umat beragama di Negeri tercinta kita ini. Indonesia mengakui 6 agama resmi, yaitu Islam, Kristen Protestan, Katholik, Hindu, Budha dan yang terakhir Khong Hu Cu. Ke enam agama ini memiliki kepercayaan dan ajaran yang berbeda-beda. Indonesia sendiri mayoritas masyarakatnya memeluk agama islam. Namun hal itu bukan berarti masyarakat muslim dapat berlaku seenakmya saja kepada masyarakat non muslim. Setiap rakyat memiki hak untuk memilih agama sesuai dengan keyakinannya masing masing sesuai dengan undang-undang dasar 1945 pasal 28E ayat (2) yang menyatakan bahwa “setiap orang berhak atas kebebasan menyakini kepercayaan”.

Peraturannya sudah jelas bukan? Karena sudah termaktub di Undang-Undang Dasar 1945. Indonesia akan terlihat berwarna dengan perbedaan-perbedaan yang ada. Bukankan pelangi itu indah karena warnamya yang bermacam-macam? Coba kita bayangkan jika di dunia ini hanya ada satu warna saja, warna hitam misalnya, maka kita tidak akan pernah mengenal warna-warna lain, begitu pula dengan Indonesia. Apabila Indonesia hanya memiliki satu budaya, satu agama, ataupun hanya memiliki bahasa nasional saja maka Indonesia tidak akan menjadi berwarna. Perbedaan itu adalah anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa agar kita para manusia bisa belajar memaknai perbedaan dalam arti luas, bukan hanya dalam arti sempit saja.

Santri Generasi Anti Radikalisme




Indonesia merupakan negeri yang kaya raya. Negeri yang kaya akan budaya dan adat istiadatnya.Negeri ini tersusun dari berbagai macam perbedaan yang bersatu padu menjadi satu. Perbedaan itu akan sangat terlihat indah apabila rakyat selalu menanamkan rasa toleransi dan tenggang rasa dalam diri mereka masing-masing. Namun harapan demi harapan yang terangkai indah di benak para pembela nusantara untuk mengintegrasikan rakyat Indonesia terlihat sangat sulit dicapai. Tanjakan-tanjakan terjal dan kerikil-kerikil tajam mulai bermunculan mengganggu jalannya persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia.

Banyak manusia-manusia yang tidak  menghargai perbedaan di negeri ini. Mereka melakukan tindak  kriminal dengan mengatasnamakan agama sebagai senjata. Mereka berbondong-bondong untuk mendirikan khilafah islamiyah di Nusantara. Mereka tidak peduli dengan nasib para veteran dan para pejuang kemerdekaan. Bagi mereka Indonesia akan lebih indah jika semua rakyatnya menganut satu agama, mereka hancurkan golongan-golongan yang tidak sepaham dengan mereka. Mereka pikir hanya merekalah yang paling benar, mereka pikir  yang mereka lakukan adalah dakwah fi sabilillah, mereka pikir yang mereka lakukan tidak pernah salah. Orang-orang yang seperti itu telah terjerat paham radikalisme, paham yang menutup mata hati mereka, paham yang menuntut mereka untuk menjadi manusia yang apatis dan egois.

Di era zaman digital seperti saat ini paham-paham radikalisme akan sangat mudah tersebar melalui sosial media. Orang-orang yang menganut paham ini akan selalu gencar mencari mangsa empuk untuk dijadikan sasarannya. Untuk menlanjutkan perjalanannya demi tercwujudnya  keinginan buta mereka. Sasaran-sasaran yang  paling  banyak  dicari oleh para penganut paham ini adalah  kalangan para remaja, karena masa remaja adalah masa pencarian jati diri yang memungkinkan para remaja ini mudah sekali terpengaruh dengan bisikan-bisikan halus mereka.

 Remaja yang tidak memiliki landasan kuat dalam dirinya akan mudah terombang-ambing terbawa derasnya arus kehidupan yang akan menghantarkannya pada ketersesatan. Namun sebaliknya, remaja yang memiliki landasan kuat dalam dirinya tidak akan mudah goyah walaupun tubuhnya digoncangkan sekalipun. Remaja yang memiliki akidah yang kuat itulah remaja yang tidak akan mudah terbawa arus paham radikalisme.

Seharusnya Pendidikan Menjadikannya Candu Bukannya Membelenggu


Pendidikan merupakan media untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan bertujuan untuk membangun tatanan bangsa yang berbalut dengan nilai-nilai kepintaran, kepekaan, dan kepedulian terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara. Pendidikan dihadirkan demi menghantarkan bangsa ini menjadi bangsa yang beradab dan berbudaya, dan pendidikan dilahirkan untuk memperbaiki kebobrokan yang sudah menggumpal di segala sendi kehidupan bangsa ini.

Paparan diatas menunjukkan tujuan-tujuan utama dari pendidikan. Untuk mewujudkan hal tersebut agar tidak   sekedar isapan jempol belaka, dibutuhkan kebijakan-kebijakan pemerintah yang mendukung tercapainya tujuan pendidikan tersebut. Tentunya pemerintah Indonesia telah membentuk kebijakan-kebijakan yang ditujukan guna memperbaiki struktur pendidikan di Indonesia. Salah satunya adalah kebijakan pemerintah tentang full day school bagi peserta didik baik di jenjang sekolah dasar, sekolah menengah pertama hingga sekolah menengah atas.

Tentunya pemerintah telah mempertimbangkan keputusan tersebut dengan  matang-matang,  mulai dari sisi positif hingga sisi negatifnya. Jika dilihat dari sisi positif  mungkin jumlah tatap muka di sekolah jauh lebih banyak sehingga materi yang diberikan dapat terselesaikan sesuai target yang ditentukan dalam satuan semester, selain itu peserta didik juga akan lebih banyak memiliki waktu weekend bersama keluarga. Namun tak ada gading yang tak retak, dibalik sisi positif  yang ada pasti ada pula sisi negatif yang ditimbulkan. Salah satunya yaitu peserta didik akan mengalami kelelahan selama di sekolah, akibatnya mereka tidak dapat berfikir dengan fokus apalagi ketika hari sudah semakin sore.

Sabtu, 10 November 2018

Unggah-ungguh dan Kearifan Tradisi Masyarakat Jawa




“Unggah-ungguh”atau dalam bahasa Indonesia disebut dengan etika atau tata krama. Masyarakat  Jawa dikenal dengan masyarakat yang sangat menjunjung tinggi “ unggah-ungguh” atau yang biasa dikenal  tata krama tersebut. Masalah unggah-ungguh atau tata krama sendiri termasuk masalah yang sangat krusial dan sangat diperhatikan oleh orang  Jawa. Orang tua-orang tua di Jawa  telah mendidik anak-anaknya sejak dini untuk memiliki unggah-ungguh yang sopan, semisal ketika lewat di depan rumah orang kita harus berkata “nderek langkung” atau “nuwun sewu” yang artinya permisi.

baca juga : Etika Selfie

Welcome To 2019

 hallo